Gelar Kuliah Tamu, UIN Alauddin Makassar Hadirkan Praktisi dari Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Prodi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar gelar kuliah tamu. Kuliah tamu untuk mata kuliah Perilaku Hewan. Kali ini UIN Alauddin Makassar  mengundang salah seorang praktisi Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Adalah Taufiq Ismail, Pengendali Ekosistem Hutan, mendapat tugas mengisi kuliah pada Kamis, 23 Mei 2024 itu. Kuliah tamu ini bertujuan untuk memberi sudut pandang baru bagi para mahasiswa perihal perilaku satwa yang hidup di hutan, di alam liar.

Sedikitnya 40 mahasiswa hadir dalam kuliah tamu. Selain mahasiswa UIN Alauddin Makassar, juga turut serta 10 mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Kehadiran mahasiswa Walisongo ini adalah bagian dari program Merdeka Belajar Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (Merpati). Sisanya adalah beberapa mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin.

Syarif Hidayat Amrullah, S.Pd., M.Sc., dosen pengampu mata kuliah Perilaku Hewan, membuka kuliah tamu yang berangsung pukul 14.00 WITA secara daring melalui aplikasi Gmeet. Setelah mengucapkan salam dan menyambut mahasiswa, Syarif, panggilan akrabnya memberi pengantar kuliah. “Hari ini kita akan menyimak paparan dari Saudara Taufiq, petugas taman nasional yang punya pengalaman mengamati perilaku satwa. Ia mengamati perilaku satwa melalui kegiatan monitoring,” pungkas Syarif Hidayat Amrullah. Syarif berharap mahasiswanya mendapat perspektif baru tentang perilaku hewan. Mampu memahami tingkah binatang liar di habitatnya.

Taufiq kemudian mulai menyampaikan materinya. Mengantarkan materi berjudul “Monitoring Satwa di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung”.  Memberi gambaran bahwa sedikit 735 spesies satwa ya g ditemukan di wilayah kerjanya. Dari angka tersebut sekitar 366 merupakan spesies endemik Sulawesi. Angka endemitas yang cukup fantastis. Sejarah alam dan lempeng penyusun pulau Sulawesi menjadi sebab. Tak heran jika pulau yang termasuk Kawasan Wallaceae ini dianugerahi spesies Oriental dan Australasia.

“Ada 5 kegiatan monitoring satwa di taman nasional, di antaranya monitoring monyet hitam sulawesi, tarsius makassar,  julang sulawesi, elang, dan kupu-kupu,” ungkap Taufiq dalam materinya. Satu per satu spesies kemudian ia bahas. Mengungkapkan tujuan, metode, dan hasil kegiatan. Pada bagian akhir pembahasan, Taufiq menampilkan foto atau pun video setiap aktivitas monitoring. Untuk perilaku satwa, ia menampilkan dan menjelaskan dalam satu slide khusus.

Perilaku satwa yang cukup menarik perhatian mahasiswa adalah Tarsius makassar. Primata terkecil di dunia ini aktif pada malam hari. Untuk mendeteksi keberadaannya cukup dengan mendengarkan suaranya. Mereka memiliki setidaknya 7 jenis panggilan untuk berkomunikasi dengan anggota kelompoknya.

“Teman-teman pelaksana kegiatan monitoring Tarsius makassar mampu mendeteksi populasi melalui suara. Mereka bisa membedakan suara jantan dan betina. Biasanya dalam satu kawanan, minimal ada dua ekor: jantan dan betina. Mereka selalu berpasangan,” tambahnya. Jika memungkinkan, pelaksana kegiatan akan mencari sumber suara dan berjumpa langsung. Jika tidak, mendeteksinya cukup dengan suara panggilannya yang khas.

Setelah empat puluh menit menyampaikan materinya, sesi diskusi pun berlanjut. Syarif dengan setia memandu jalannya sesi tanya jawab. Sesi pertama, tiga orang mahasiswa mengajukan pertanyaan.

Irda Ayu Febrian, Mahasiswa UIN Walisongo Semarang, bertanya perihal penggunaan teknologi semisal kamera trap dan GPS tracking dalam monitoring satwa. Menurut Taufiq, penggunaan kamera trap ditujukan untuk mengidentifikasi keberadaan satwa-satwa sensitif. Sensitif dengan keberadaan manusia seperti musang sulawesi. Karena itu dalam kegiatan monitoring satwa, jenis kamera ini tidak digunakan. Sementara penggunaan GPS tracking belum pernah digunakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untuk mantau pergerakan satwa.

Salah seorang mahasiswa juga mengabarkan keberadaan burung maleo di Mamuju, Sulawesi Barat. Meminta pendapat teknik menelitinya. Taufiq pun angkat bicara menjawab kegundahan mahasiswa.

“Wah .. ini kabar menarik, karena sebaran maleo cukup terbatas. Di taman nasional sendiri, burung karismatik ini tidak ditemukan. Untuk menelitinya harus banyak membaca penelitian terdahulu sehingga dapat memuncul ide. Menemukan aspek yang belum diteliti oleh periset sebelumnya. Perihal metode bisa mempelajari hasil penelitian serupa,” jawab Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda itu.

Kuliah Tamu secara Daring

Rasanya waktu begitu cepat berlalu. Antusias mahasiswa juga menjadi pemicu sehingga sesi kuliah tamu berjalan apik. Karena itu, sang dosen pengampu merasa yakin asa yang diinginkan tercapai. Mahasiswanya mampu memahami perilaku satwa yang berada di kawasan konservasi. “Saya haturkan terima kasih kepada Saudara Taufiq,, yang telah meluangkan waktu dan memberi pencerahan bagi mahasiswa kami. Semoga ke depan jalinan silaturahmi ini terus berlanjut di masa yang akan datang,” tutup Syarif.

Penulis: Taufiq Ismail – PEH Ahli Muda

Tags :

Bagikan :