Distribusi dan Habitat
Tarsius Makassar (Tarsius fuscus) merupakan spesies primata yang hanya ditemukan di wilayah selatan Pulau Sulawesi. Primata kecil ini lebih memilih habitat di hutan tropis dengan kanopi lebat yang gelap dan lembap. Meski demikian, mereka cukup adaptif dan dapat hidup di berbagai jenis hutan, selama ada ketersediaan makanan. Tak jarang, tarsius juga dapat ditemukan di kebun-kebun sekitar daerah pemukiman. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di bawah kanopi pada ketinggian 1 hingga 2 meter dari tanah, di mana mereka merasa lebih aman dan terlindungi.
Klasifikasi Taksonomi
Tarsius adalah primata kecil yang sering kali membingungkan para ahli karena penampilannya yang mirip dengan lemur. Namun, walaupun berada dalam kelompok prosimia (primata primitif) seperti lemur, tarsius memiliki struktur tubuh dan genetika yang sangat khas. Hal ini membuatnya menjadi spesies yang terpisah dari kelompok lainnya. Saat ini, tercatat 13 spesies tarsius di Indonesia, 12 spesies terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya. Di antaranya bersifat monotipe, artinya tidak memiliki subspesies lebih lanjut.
Nama “tarsius” sendiri berasal dari kata Latin yang berarti pergelangan kaki atau tumit, karena primata ini memiliki kaki panjang dengan tulang tumit yang memanjang. Sedangkan nama “fuscus” yang disematkan pada tarsius Makassar berarti “gelap”, mengacu pada warna bulu mereka yang lebih gelap dibandingkan dengan spesies tarsius lainnya di wilayah yang sama, seperti Tarsius Selayar (T. tarsier).
Ukuran, Berat, dan Umur
Tarsius Makassar adalah primata kecil dengan panjang tubuh sekitar 12,7 cm dan ekor sepanjang 24 hingga 26 cm. Berat tubuh tarsius jantan berkisar antara 126 hingga 133 gram, sedangkan betinanya sedikit lebih ringan, sekitar 113 hingga 124 gram. Meskipun data tentang umur tarsius di alam liar masih terbatas, pengamatan terhadap spesies terkait menunjukkan bahwa tarsius Makassar dapat hidup hingga 16 tahun di penangkaran.
Penampilan
Tarsius Makassar, primata kecil yang unik, memiliki ciri khas yang membuatnya mudah dikenali. Mereka memiliki mata besar yang menawan dan kaki panjang berotot yang menyumbang sekitar 25% dari berat tubuh mereka. Bulu mereka berwarna cokelat kemerahan, dengan gradasi menjadi cokelat tua di paha dan lebih pucat di dekat kaki. Wajah mereka dihiasi tanda hitam tipis berbentuk Y di dekat hidung, serta sepetak bulu putih cerah di belakang telinga yang mirip telinga kelelawar.
Ekornya yang berumbai menjadi ciri pembeda yang menarik. Tarsius Makassar memiliki jambul ekor yang lebih panjang dan lebat, sementara Tarsius Selayar memiliki bulu ekor yang lebih pendek dan tipis.
Cakar mereka dirancang sempurna untuk kehidupan di hutan. Mereka dapat dengan mudah mencengkeram cabang pohon dan mangsa saat bergerak. Bahkan, cakar pada jari kaki kedua dan ketiga mereka dimodifikasi khusus untuk membantu membersihkan dan merawat diri.
Yang paling menakjubkan, tarsius memiliki kemampuan mengawasi predator dari belakang. Mereka sering terlihat menempel vertikal di pohon, dengan perut dekat batang dan kepala menghadap ke arah berlawanan. Ini memungkinkan mereka memantau bahaya yang mendekat dari belakang. Kemampuan ini didukung oleh tulang belakang dan otot leher yang unik, memungkinkan mereka memutar kepala hingga 180 derajat ke kedua arah. Sungguh adaptasi yang luar biasa.
Makanan
Tarsius adalah primata unik yang hanya memakan daging, menjadikannya satu-satunya primata karnivora sejati yang tidak menyentuh makanan non-hewani. Mereka adalah pemburu handal yang memangsa katak, kadal, bahkan burung, meskipun serangga menjadi menu utama mereka. Keahlian berburu mereka didukung oleh bantalan lengket di jari-jari mereka, yang membantu mereka memanjat permukaan halus dan mencengkeram mangsa dengan kuat. Gigi mereka pun tak kalah mengesankan, tajam dan bergerigi, sempurna untuk menangkap mangsa dengan cepat saat mereka melompat lincah di antara pepohonan. Sungguh, tarsius adalah predator kecil yang sangat efisien di alam liar.
Perilaku dan Gaya Hidup
Tarsius adalah makhluk malam yang menghabiskan hidupnya di atas pohon, menjadikan mereka primata nokturnal dan arboreal yang sempurna. Tubuh dan kebiasaan mereka dirancang khusus untuk gaya hidup ini. Mata mereka sangat besar, bahkan seukuran otak mereka, dan membantu mereka melihat dengan jelas dalam kegelapan saat berburu di hutan yang gelap. Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar otak tarsius, khususnya neokorteks (bagian yang mengatur persepsi sensorik dan spasial), dipenuhi saraf yang terhubung langsung dengan penglihatan mereka. Ini membuat mereka ahli dalam menavigasi lingkungannya di malam hari.
Gerakan utama tarsius adalah melompat dan berjalan menggunakan keempat kakinya. Dengan kaki panjang yang kuat, mereka melompat dengan presisi, mendarat dengan kaki terlebih dahulu dan mencengkeram batang atau cabang pohon menggunakan jari-jari kaki mereka. Hebatnya, mereka bisa melompat hingga lebih dari 3 meter. Sungguh lompatan yang luar biasa untuk ukuran tubuh mereka yang kecil.
Tarsius juga punya taktik cerdas untuk menghadapi predator, seperti ular. Mereka melakukan “mobbing” yaitu berkumpul di sekitar predator sambil berteriak dari jarak aman. Perilaku ini tidak hanya memperingatkan tarsius lain tentang bahaya, tetapi juga membantu menentukan lokasi ancaman dengan mudah.
Selain itu, tarsius membuat sarang tidur yang penting untuk berkembang biak dan bertahan hidup. Tarsius Makassar biasanya memilih liang alami di pohon, setinggi 2 hingga 7 meter. Di hutan bukit batu kapur (karst) dan Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mereka umumnya bersarang di lubang atau celah pada tebing karst, di rumpun-rumpun bambu, Ficus sp. dan pohon nira (Arenga Pinnata). Meski punya beberapa tempat tidur, mereka cenderung memilih satu sarang utama sebagai tempat favorit mereka. Sungguh, tarsius adalah makhluk malam yang penuh keunikan dan kecerdasan.
Kehidupan Sehari-hari dan Dinamika Kelompok
Tarsius bangun saat senja, ketika cahaya matahari terakhir menghilang dan malam tiba. Mereka meninggalkan sarang untuk mencari makanan, sering kali menjelajah jauh. Mereka memiliki periode aktif berburu mangsa, diselingi istirahat untuk mencerna makanan dan menghemat energi. Sekitar 55% waktu mereka dihabiskan untuk berburu, 23% untuk bepergian, dan 16% untuk beristirahat. Saat malam berlanjut, mereka kembali mencari makanan sebelum pulang ke sarang.
Tarsius sangat teritorial. Baik jantan maupun betina melindungi wilayah mereka dari penyusup berjenis kelamin sama. Namun, jantan lebih toleran terhadap betina karena peluang kawin. Satu jantan biasanya memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan beberapa betina. Wilayah jelajah mereka sekitar 1 hingga 3 hektar, luas untuk hewan sekecil mereka.
Interaksi kelompok tarsius bervariasi. Beberapa hidup soliter, sementara lainnya hidup dalam kelompok kecil. Sayangnya, belum ada penelitian mendalam tentang perilaku sosial Tarsius Makassar.
Komunikasi
Sebagai predator malam, tarsius sering berjauhan satu sama lain, sehingga mereka mengandalkan vokalisasi untuk berkomunikasi. Pasangan tarsius yang sudah kawin biasanya bernyanyi duet saat senja dan fajar, menyiarkan wilayah mereka dan membantu menemukan satu sama lain setelah berburu. Selain duet, mereka menggunakan siulan, getaran, dan teriakan untuk menyampaikan peringatan atau kegembiraan.
Yang menakjubkan, tarsius adalah salah satu dari sedikit mamalia yang dapat menghasilkan suara ultrasonik, frekuensi yang tidak dapat didengar manusia. Ini memberi mereka saluran komunikasi rahasia yang bebas dari gangguan hewan lain.
Saat bertemu langsung, tarsius menggunakan gerakan seperti menggeram atau melipat telinga untuk menunjukkan ketidaknyamanan. Mereka juga memiliki kelenjar khusus di tubuh mereka untuk menandai aroma, terutama selama musim kawin.
Reproduksi dan Keluarga
Tarsius betina biasanya siap kawin pada usia 1,5 hingga 2 tahun. Saat siap, mereka memberikan sinyal visual dan hormonal kepada jantan. Kehamilan berlangsung 5 hingga 6 bulan, dan biasanya hanya satu bayi yang lahir. Bayi tarsius terlahir cukup berkembang, dengan mata terbuka dan tubuh berbulu. Mereka mulai mandiri dalam beberapa minggu, bahkan bisa melompat di dahan pada usia 32 hari.
Perilaku sosial tarsius bervariasi. Beberapa hidup soliter, sementara lainnya hidup dalam kelompok kecil. Jantan biasanya memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan beberapa betina, memastikan mereka bisa kawin dengan lebih dari satu pasangan.
Peran Ekologis
Sebagai satu-satunya primata karnivora, tarsius memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka mengontrol populasi serangga dan kadal, mencegah ledakan populasi yang bisa merusak lingkungan.
Status Konservasi dan Ancaman
Tarsius Makassar diklasifikasikan sebagai “Rentan” oleh IUCN (The International Union for Conservation of Nature). Ancaman terbesar mereka adalah hilangnya habitat akibat deforestasi dan konversi lahan untuk pertanian. Pestisida juga meracuni serangga, sumber makanan utama mereka.
Selain itu, tarsius sering ditangkap untuk dijadikan hewan peliharaan, meskipun mereka tidak bisa bertahan hidup di penangkaran. Anjing dan kucing liar juga menjadi ancaman bagi populasi mereka.
Upaya Konservasi
Tarsius Makassar dilindungi oleh undang-undang nasional dan internasional, termasuk Apendiks II CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Perlindungan habitat, seperti di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, menjadi harapan utama untuk menyelamatkan mereka.
Organisasi nonpemerintah juga berperan penting, seperti mengurangi penggunaan pestisida berbahaya dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi tarsius.
Meski upaya konservasi telah dilakukan, penelitian lebih lanjut tentang Tarsius Makassar masih sangat dibutuhkan untuk memastikan kelangsungan hidup mereka di alam liar.
Penulis: Tim Kerja Suaka Tarsius Makassar (Sanctuary Tarsius fuscus)
Daftar Pustaka :
Andriyani, A. A., Nugraha, R., & Marliana, S. N. (2021). Distribution and characteristics of the Makassar tarsius Tarsius fuscus Fischer, 1804 sleeping nest in the tropical primary and secondary forests of South Sulawesi. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 948(1), 012034. IOP Publishing. https://doi.org/10.1088/1755-1315/948/1/012034
Ankel-Simons, F. (2007). Brain, sense organs and viscera. In Primate Anatomy (3rd ed., pp. 199–222). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-012372576-9/50008-5
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. (2024). Tarsius Makassar: Cute, Smart, Agile. https://www.bantimurungbulusaraung.id/tarsius-makassar-cute-smart-agile/
Bates, M. (2015). The creature feature: 10 fun facts about tarsiers. Mary Bates Science Writer. https://marybatessciencewriter.com/home/2015/11/02/the-creature-feature-10-fun-facts-about-tarsiers#:~:text=Tarsiers%20spend%20most%20of%20their,from%20those%20of%20other%20primates
Gron, K. J. (2010). Primate factsheets: Tarsier (Tarsius) taxonomy, morphology, & ecology. Primate Info Net. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/tarsier/taxon
Groves, C., & Shekelle, M. (2010). The genera and species of Tarsiidae. International Journal of Primatology, 31, 1071–1082. https://doi.org/10.1007/s10764-010-9443-1
Gursky, S. (2015). Ultrasonic vocalizations by the spectral tarsier, Tarsius spectrum. Folia Primatologica, 86(3), 153–163. https://doi.org/10.1159/000371885
Shekelle, M. (2020). Tarsius fuscus. The IUCN Red List of Threatened Species 2020: e.T162369593A162369616. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-3.RLTS.T162369593A162369616.en
GBIF Secretariat. (2023). Tarsius fuscus Fischer, 1804 in GBIF Backbone Taxonomy. Checklist dataset. https://doi.org/10.15468/39omei