Langit Desa Barugae, Mallawa, Maros, Sulawesi Selatan, memantulkan cahaya lembut di awal Juli. Alih-alih terik kemarau, gerimis masih turun sebagai berkah yang memperpanjang musim tanam.
Di balik ketenangan desa di tepian hutan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung ini, tengah berlangsung kisah perjuangan kelompok tani perempuan melawan hama. Hama yang mengancam sumber penghidupan mereka—penyakit layu Fusarium pada tanaman jahe.
Rabu pagi (2/7/2025), tiga penyuluh kehutanan dari Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung—Haris Said, Arini P. Lestari, dan Syamsir Upe—melakukan kunjungan lapangan ke Barugae. Tujuan mereka adalah monitoring rutin kelompok binaan masyarakat sekitar hutan.

Kelompok yang menjadi fokus perhatian kali ini adalah Kelompok Wanita Tani Hutan (KWTH) Semangat Baruga, satu-satunya kelompok perempuan di desa itu yang aktif mengolah hasil hutan bukan kayu, khususnya jahe.
“Ini bukan sekadar kunjungan kerja,” ujar Arini membuka diskusi di sekretariat kelompok yang terletak di belakang kantor desa. “Kami ingin tahu bagaimana kabar kelompok, tantangan yang dihadapi, dan sejauh mana perkembangan produksi mereka.”
Nurlaela, Ketua KWTH Semangat Baruga, menyambut hangat kehadiran mereka. Dengan penuh semangat, ia menceritakan bahwa kelompoknya kini semakin produktif. Selain produk utama berupa jahe instan dalam kemasan, mereka juga mulai memproduksi kopi jahe.
“Kami juga berinovasi membuat varian gula pasir dan gula aren. Gula aren kan banyak di sini,” terang Nurlaela. Ia menyebutkan bahwa BUMDes Desa Barugae turut membantu memasarkan produk mereka.
Namun di balik pencapaian tersebut, ada ancaman nyata yang tengah membayangi para petani jahe di Barugae. Nurlaela mengungkapkan bahwa beberapa petani mengalami gagal panen akibat tanaman jahenya terserang penyakit.
“Daunnya menguning, lalu layu dan mati. Rimpangnya juga mengecil, keriput, tidak bisa dipanen,” katanya lirih.
Haris Said, penyuluh kehutanan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mumpuni tentang tanaman budidaya ini, langsung menyampaikan analisisnya. Menurutnya, gejala tersebut menunjukkan adanya serangan Fusarium oxysporum, jamur patogen yang hidup di dalam tanah.
“Jamur ini bisa bertahan lama di tanah tanpa inang. Penyebarannya bisa lewat alat tani yang terkontaminasi atau bibit yang tidak sehat,” jelas Haris.
Penyakit layu fusarium dikenal sebagai momok bagi petani jahe. Dalam penelitian Sari dan Wijaya (2018), disebutkan bahwa patogen ini sangat sulit dikendalikan jika sudah menginfeksi lahan. Karenanya, upaya pencegahan dan rehabilitasi lahan menjadi krusial.
Haris pun menjelaskan dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi serangan ini. Pertama, secara kimiawi, petani bisa merendam bibit jahe dalam larutan fungisida Antracol selama 5 hingga 8 jam sebelum ditanam. Kedua, secara organik, dengan menaburkan jamur antagonis Trichoderma spp. yang dicampur kompos ke media tanam.
“Trichoderma bisa menekan pertumbuhan Fusarium. Tapi jangan lupa perbaiki juga sistem drainasenya. Air tergenang memperparah penyebaran penyakit ini,” tegas Haris.
Meski ada dua pendekatan, Haris mendorong agar petani menggunakan keduanya secara terpadu untuk hasil optimal. Ia bahkan menyempatkan diri turun langsung ke kebun-kebun warga esok harinya demi memastikan gejala dan kondisi lahan.
“Saya yakin ini Fusarium. Saya sudah lihat langsung,” ujarnya. Perjalanan dari kantor balai taman nasional di Bantimurung ke Barugae tidaklah singkat—sekitar dua jam menggunakan sepeda motor melintasi perbukitan dan jalan berkelok. Namun Haris dan tim tidak gentar. Pendampingan bagi warga binaan, terutama perempuan petani di wilayah konservasi, adalah bagian dari tugas yang mereka jalani dengan hati.
Semangat Baruga bukan kelompok biasa. Mereka telah terbentuk sejak 2019 dan pernah meraih penghargaan nasional sebagai Desa Binaan Konservasi terbaik pertama dalam peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2021 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Nurlaela bahkan pernah diundang sebagai narasumber oleh Balai Taman Nasional Tambora, Mataram. Kiprah mereka dalam memberdayakan potensi lokal, terutama jahe, menjadi inspirasi banyak pihak.

Namun keberhasilan masa lalu tidak menjamin masa depan yang mulus. Fusarium menjadi tantangan nyata yang harus mereka hadapi dengan serius. Keberlangsungan produk unggulan mereka, jahe instan, kini sangat bergantung pada keberhasilan petani dalam mengatasi penyakit ini.
“Kalau petani gagal panen, produksi jahe kelompok juga terganggu,” ujar Nurlaela.
Kini, pilihan ada di tangan para petani. Mereka dihadapkan pada keputusan penting: membenahi teknik budidaya, menerapkan teknologi pengendalian hama, dan memperkuat kerja sama antar petani. Penyuluh kehutanan hadir sebagai mitra strategis, namun perubahan tetap harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Perjuangan melawan Fusarium bukan sekadar soal menjaga panen. Ini adalah pertarungan menjaga kedaulatan pangan lokal, menjaga keberlanjutan usaha kecil, dan memastikan perempuan di desa seperti Barugae tetap menjadi motor penggerak ekonomi lokal.
“Ini memang tidak mudah,” pungkas Haris. “Tapi jika dikerjakan bersama-sama, hasilnya akan kita rasakan bersama pula.”
Barugae dan jahe instannya kini tengah diuji. Namun di balik tantangan itu, tersimpan harapan: bahwa dari desa kecil di tepian hutan, semangat kolektif bisa tumbuh menjadi kekuatan besar melawan krisis.
Penulis: Taufiq Ismail Al Pharepary – PEH TN Babul