Tarsius Makassar: Dinamika Populasi Spesies Kunci Wallacea

Ketika malam turun di lembah hutan bukit batu kapur (karst), suara cicitan bernada tinggi menggema di antara tebing batu. Itu bukan sekadar bunyi hutan — itu panggilan tarsius makassar (Tarsius fuscus), primata mungil bermata besar yang hanya hidup di bagian selatan Sulawesi. Ia termasuk dalam 13 spesies tarsius di Indonesia, di mana 12 di antaranya hidup di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya (Mustari, 2020). Hewan ini adalah primata nokturnal, hidupnya dijalani ketika kita terlelap.

Mereka adalah spesies kunci (keystone species) yang berperan besar dalam menjaga struktur, fungsi, dan keseimbangan ekosistem hutan. Sebagai pengendali serangga alami dan indikator kesehatan hutan, kehadiran mereka menentukan stabilitas ekosistem hutan di Wallacea.

Secara fisik, tarsius makassar menyimpan adaptasi yang luar biasa. Mata mereka sangat besar—bahkan lebih besar daripada otaknya—memungkinkan mereka melihat dengan tajam dalam gelapnya malam. Kepala mereka dapat berputar hampir 180 derajat, layaknya burung hantu, sehingga mereka mampu mengamati sekeliling tanpa perlu menggerakkan tubuh (Niemitz & Verlag, 1984). Itu adalah adaptasi sempurna untuk kehidupan malam.

Di Balik Naik-Turun Populasi

Sejak 2011, Balai Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung melakukan pemantauan jangka panjang terhadap populasi tarsius makassar di 27 lokasi monitoring. Kajian ini bukan sekadar memantau angka; ia mengungkap perubahan ekologi, tekanan habitat, dan kemampuan bertahan sebuah spesies yang bergantung penuh pada keutuhan TN Bantimurung Bulusaraung  yang terkenal akan bentang alam karst yang megah.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi, populasi tarsius makassar justru melonjak cukup tinggi, dengan peningkatan mencapai 6 hingga 125 persen dibandingkan angka awal. Namun di lokasi-lokasi lainnya, populasinya menurun sekitar 5 hingga 6 persen, seolah mengingatkan bahwa setiap sudut hutan menghadapi tantangan yang berbeda—mulai dari perubahan vegetasi hingga gangguan manusia.

Kepadatan tarsius makassar pun sangat bervariasi. Di lokasi yang ideal jumlahnya bisa mencapai 583 individu per kilometer persegi. Sementara di lokasi yang kurang ideal, angkanya menurun hingga 40 individu per kilometer persegi.

Dalam lokasi tersebut, tarsius makassar hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang sangat terikat satu sama lain—umumnya 4 hingga 31 kelompok di tiap lokasi, dengan masing-masing kelompok beranggotakan 2 sampai 8 individu. Mereka bergerak, berburu, dan berkomunikasi dalam lingkaran keluarga kecil yang menjadi inti kehidupan sosial spesies ini.

Fluktuasi itu tidak sekadar angka. Ia adalah cermin dari betapa rapuh sekaligus kuatnya tarsius makassar dalam menghadapi perubahan. Ketika habitatnya terjaga, populasinya merespons dengan cepat. Namun ketika habitatnya rusak, atau serangga—makanannya—menurun, populasinya pun ikut merosot.

Ada lokasi pengamatan seperti Sungai Pattunuang yang menunjukkan kenaikan populasi rata-rata 3% per tahun, atau 47% dari data dasar tahun 2011. Sementara di Suaka Tarsius Makassar (Sanctuary Tarsius fuscus), populasinya melonjak 125%. Lonjakan ini terjadi karena pelepasliaran individu dari kandang penelitian dan kandang habituasi Suaka Tarsius Makassar (BTNBABUL, 2025).

Karst Benteng Terakhir

Tarsius makassar adalah ahli adaptasi. Mereka bisa hidup di berbagai tipe habitat: karst, hutan hujan non-dipterocarpaceae pamah, hutan pegunungan bawah, bahkan kebun dan pemukiman masyarakat.

Namun, rumah favorit mereka tetap karst, di sinilah kepadatan tertinggi mereka tercatat.  Kajian menunjukkan bahwa kepadatan populasi tertinggi tarsius makassar terdapat di karst (233–328 individu/km²), diikuti hutan hujan non-dipterocarpaceae pamah (260 individu/km²). Sebaliknya, di area kebun dan pemukiman manusia, kepadatan hanya 23–36 individu/km² (BTNBABUL, 2025).

Mereka bersarang di lubang atau celah pada tebing karst dan singkapan batu, di rumpun bambu, Ficus sp., nira (Arenga Pinnata), pandan hutan, rimbunan tanaman merambat, dan sisa-sisa pohon tumbang.

Karst bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah benteng pertahanan. Lubang-lubang dan celahnya memberikan perlindungan dari cuaca dan predator.

Monitoring populasi tarsius makassar di TN Bantimurung Bulusaraung.

Jejak Ancaman

Meski status konservasinya kini “Rentan” (Vulnerable) menurut IUCN (2020), ancaman terhadap tarsius makassar terus meningkat. Deforestasi untuk perkebunan, penggunaan pestisida, dan kebakaran hutan menjadi penyebab utama penyusutan populasi.

Perambahan hutan untuk pertambangan, perkebunan, dan ladang baru menggigit perlahan tepian wilayah jelajah mereka, sementara kebakaran hutan menghanguskan habitat mereka.

Pembalakan liar merobohkan pohon-pohon sarang yang menjadi tempat tidur keluarga kecil tarsius makassar, dan penggunaan pestisida di perkebunan mengikis populasi serangga yang menjadi sumber energi utama mereka. Bahkan aktivitas wisata yang tampak sepele—seperti panjat tebing dan api unggun—dapat mengusik ketenangan malam mereka.

Di tengah semua itu, perburuan oleh oknum tertentu menambah daftar ancaman yang terus menghimpit. Maka tarsius makassar hidup di antara dua dunia: satu yang bergerak cepat menuju pembangunan, dan satu lagi yang masih berusaha mempertahankan keheningan hutan—keheningan yang mereka butuhkan untuk bertahan.

Konservasi yang Tak Pernah Usai

Di tengah segala ancaman yang menghimpitnya, masih ada secercah harapan bagi tarsius makassar. Harapan itu lahir dari upaya panjang Balai TN Bantimurung Bulusaraung bersama para peneliti, komunitas, dan mitra konservasi yang tak pernah menyerah menjaga kehidupan malam yang rapuh ini. Di balik setiap program dan patroli, terdapat keyakinan bahwa spesies mungil ini masih memiliki kesempatan untuk bertahan.

Salah satu langkah paling penting adalah pembinaan populasi. Tim Balai TN Bantimurung Bulusaraung melakukan monitoring rutin untuk memantau tren dan dinamika populasi dari tahun ke tahun—sebuah pekerjaan yang menuntut ketelitian, kesabaran, dan sering kali hanya berbekal cahaya senter di tengah gelapnya malam.

Upaya ini diperkuat dengan pembangunan Suaka Tarsius Makassar seluas 6,17 hektare, sebuah kawasan perlindungan yang berfungsi sebagai pusat konservasi, penelitian, dan ekowisata yang memperkenalkan pada kehidupan salah satu primata nokturnal paling unik di Indonesia.

Di sisi lain, pembinaan habitat dilakukan melalui pemulihan ekosistem menggunakan tanaman endemik yang pernah mendominasi kawasan ini. Setiap bibit pohon hutan yang ditanam kembali bukan sekadar penambah tutupan vegetasi; ia adalah jembatan untuk memulihkan habitat yang berfungsi sebagai ruang jelajah, sarang tidur, dan koridor pergerakan tarsius makassar. Langkah-langkah kecil ini, bila dilakukan berulang dan konsisten, menjadi fondasi bagi pulihnya rumah alami mereka.

Upaya melindungi tarsius makassar juga mengandalkan patroli pengamanan, termasuk Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART) Patrol yang dilakukan bersama Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan (MMP). Mereka menyusuri hutan, dan batas-batas kawasan untuk mencegah perburuan, penebangan liar, serta aktivitas ilegal lain yang mengancam habitat. Patroli ini tidak hanya menjaga hutan, tetapi juga memperkuat ikatan antara masyarakat dan hutan yang menjadi sumber kehidupan bersama.

Yang tidak kalah penting adalah pendidikan dan penyadartahuan. Melalui kegiatan sekolah alam, diskusi, dan kampanye, generasi muda dikenalkan pada peran tarsius makassar sebagai bagian penting dari ekosistem. Kesadaran ini tumbuh pelan-pelan, menjadi benih perubahan yang dapat menjamin masa depan konservasi. Pendidikan dan penyadartahuan konservasi merupakan investasi jangka panjang yang sangat penting untuk menjaga kelestarian.

Pada akhirnya, upaya ini menunjukkan bahwa nasib tarsius makassar tidak bergantung pada satu program saja, tetapi pada rangkaian tindakan kecil yang dilakukan secara berkelanjutan. Dari pemulihan ekosistem hingga patroli, dari penelitian hingga edukasi, semua bergerak menuju satu tujuan: memastikan bahwa tatapan mata besar sang penjaga malam akan terus memantulkan cahaya kehidupan untuk generasi mendatang.

Pendidikan dan penyadartahuan konservasi di sekolah.

Masa Depan di Tangan Kita

Di balik tatapannya yang menggemaskan, tarsius makassar adalah penjaga ekosistem — pengendali serangga alami, indikator kesehatan hutan, dan bagian penting identitas alam Sulawesi.

Dinamika populasinya yang fluktuatif adalah pesan. Ia bisa bertahan, bahkan meningkat di kawasan yang dilindungi dengan baik. Namun, ia sangat rentan di tempat di mana habitatnya tergusur.

Mereka telah hidup jutaan tahun di Sulawesi, melompat di kegelapan, menjaga keseimbangan ekosistem dengan memangsa serangga. Kini, giliran kita untuk menjaganya. Masa depan si penjaga malam ini tidak hanya bergantung pada para peneliti dan petugas konservasi, tetapi juga pada kepedulian kita semua.

Referensi

Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung [BTNBABUL]. (2025). Dinamika Populasi Tarsius makassar (Tarsius fuscus) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung 2011–2025. Maros: Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

International Union for Conservation of Nature [IUCN]. 2020. The IUCN Red List of Threatened Species. https://www.iucnredlist.org/species/162369593/ 162369616. Diakses pada 17 November 2025.

Mustari AH. 2020. Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi. Bogor (ID). IPB Press.

Niemitz C, Verlag FG. 1984. Biology of Tersier. New York: Pustet Reagensburg.

Penulis: Tim Kerja Suaka Tarsius Makassar

Tags :

Bagikan :