Di tengah kegelapan hutan bukit batu kapur (karst) di kawasan wisata Pattunuang, dua bola mata berkilat memantulkan cahaya senter kami. Makhluk kecil seukuran genggaman tangan itu berhenti di batu kapur, menoleh cepat dengan gerakan kepala yang bisa berputar hampir 180 derajat. Sekilas tampak seperti bayangan, namun sesungguhnya ia adalah primata endemik Sulawesi Selatan — Tarsius fuscus, atau tarsius makassar — satwa nokturnal yang dikenal masyarakat lokal dengan sebutan Balao Cangke, kini menjadi pusat perhatian konservasi di Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung.
“Tarsius makassar adalah indikator ekosistem karst yang sehat. Jika mereka masih ada, berarti hutan masih berfungsi,” ujar Kamajaya Shagir, Ketua Tim Kerja Pengelola Suaka Tarsius Makassar (Sanctuary Tarsius fuscus) di kawasan wisata Pattunuang, TN Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan.
Konservasi di Jantung Karst Wallacea
Pulau Sulawesi dikenal sebagai wilayah dengan tingkat endemisitas tinggi dikawasan biogeografi Wallacea. Dari 127 jenis mamalia di pulau ini, 61 persen di antaranya endemik — tak ditemukan di tempat lain di dunia (Whitten et al., 2002). Salah satunya adalah tarsius makassar, primata kecil yang aktif di malam hari dan hanya ditemukan di bagian selatan Sulawesi dengan status konservasi Rentan (Vulnerable) (IUCN, 2020).
Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung (± 43.750 hektare) merupakan habitat penting bagi 39 jenis mamalia, 13 di antaranya endemik Sulawesi. Tarsius makassar menjadi salah satu spesies kunci (key species) di kawasan ini, karena perannya sebagai pengendali alami populasi serangga malam dan indikator stabilitas ekosistem karst.
“Saat ini tarsius makassar tidak termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi secara hukum di Indonesia. Padahal, spesies ini memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi dan hanya hidup di wilayah terbatas di Sulawesi Selatan. Jika status perlindungan hukumnya tidak segera diperkuat, risiko perburuan, gangguan habitat, dan tekanan wisata bisa meningkat. Karena itu, kami mendorong agar tarsius makassar segera dimasukkan ke dalam daftar satwa dilindungi nasional, agar upaya konservasi yang telah berjalan memiliki dasar hukum yang kuat dan berkelanjutan,” jelas T. Heri Wibowo, Kepala Balai TN Bantimurung Bulusaraung.

Suaka Tarsius Makassar: Laboratorium Hidup
Untuk memperkuat upaya pelestarian, Balai TN Bantimurung Bulusaraung membangun Suaka Tarsius Makassar di kawasan wisata Pattunuang, TN Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, seluas ± 6,17 hektare. Kawasan ini ditetapkan secara resmi melalui Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor SK.205/KSDAE/SET/KSA.2/5/2018 tanggal 14 Mei 2018.
Suaka Tarsius Makassar berfungsi sebagai pusat konservasi, penelitian, dan ekowisata Tarsius Makassar di TN Bantimurung Bulusaraung. Data lapangan tahun 2024 mencatat populasi 36 individu tarsius makassar, terbagi dalam delapan kelompok, dengan kepadatan sekitar 583 individu per km². Jumlah ini meningkat tajam dari 16 individu pada 2019 — peningkatan populasi sebesar 125 persen dalam lima tahun (BTNBABUL, 2024).
“Tingginya kenaikan populasi di Suaka Tarsius Makassar ini karena beberapa kelompok berasal dari individu-individu yang dilepas dari kadang penelitian dan kandang habituasi Suaka Tarsius Makassar. Peningkatan populasi ini menjadi indikator keberhasilan pengelolaan habitat dan program habituasi,” kata Kamajaya.
Habitat Suaka Tarsius Makassar terdiri atas karst dengan vegetasi seperti Ficus spp., Palaquium obovatum, dan Dracontomelon dao. Kawasan ini juga memiliki infrastruktur konservasi seperti kandang habituasi, kandang penelitian, canopy trail, serta display room, dan gazebo. Semua fasilitas ini difungsikan untuk penelitian dan ekowisata tanpa mengganggu perilaku alami tarsius makassar.
Dari Myron Shekelle hingga Peneliti Muda
Lokasi Suaka Tarsius Makassar pernah menjadi situs penelitian Dr. Myron Shekelle, primatolog dunia yang pada 2010 menegaskan status taksonomi tarsius makassar sebagai spesies tersendiri (Shekelle & Groves, 2010). Kini, lokasi tersebut menjadi laboratorium bagi peneliti dari berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Menurut data Balai TN Bantimurung Bulusarauang, setidaknya tujuh lembaga penelitian dan perguruan tinggi terlibat aktif melakukan studi genetika, perilaku, dan ekologi tarsius makassar di TN Bantimurung Bulusaraung.
“Bukan hanya pelajar dari Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara datang belajar di sini. Mereka tidak sekadar melihat tarsius makassar, melainkan memahami bagaimana makhluk kecil ini menjaga keseimbangan kehidupan di hutan,” ujar Aswadi Hamid selaku Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada TN Bantimurung Bulusaraung.

Ekowisata Malam: Antara Edukasi dan Etika
Selain penelitian, Suaka Tarsius Makassar dikembangkan sebagai destinasi ekowisata malam berbasis konservasi. Program Night Safari Tarsius menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan mancanegara yang ingin melihat kehidupan tarsius makassar di habitat aslinya. Namun pengelolaan dilakukan dengan ketat: jumlah pengunjung dibatasi, penggunaan senter diatur, dan setiap rombongan wajib didampingi pemandu.
“Spesies ini sangat sensitif terhadap stres. Paparan cahaya berlebih, suara keras, atau kontak langsung bisa mengganggu kehidupan mereka,” jelas Aswadi.
Pendekatan ekowisata yang diterapkan di Suaka Tarsius Makassar mengikuti prinsip low impact tourism— pengunjung diajak menikmati suasana malam tanpa merusak habitat.

Ancaman Sunyi di Balik Karst
Meski populasi tarsius makassar di Suaka Tarsius Makassar meningkat, ancaman masih ada. Satwa predator seperti ular sanca (Python reticulatus), burung celepuk Sulawesi (Otus manadensis), dan elang ular Sulawesi (Spilornis rufipectus) menjadi tekanan alami terhadap populasi.
Selain itu, ancaman terbesar justru datang dari aktivitas manusia, terutama sampah wisata. Kesadaran pengunjung terhadap kebersihan dan etika konservasi masih rendah.
“Beberapa pengunjung masih membuang sampah di jalur trail,” keluh Syamsuddin selaku petugas lapangan.
Upaya pemeliharaan kebersihan kawasan dan peningkatan kenyamanan pengunjung diimplementasikan melalui program pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Inisiatif konkretnya berupa penyediaan dan penempatan kantong-karung sampah pada lokasi-lokasi strategis di sepanjang jalur trail sebagai bagian dari kampanye “Save Tarsius”.
Strategi 2026–2035: Menggabungkan Sains dan Partisipasi
Dalam dokumen resmi Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Suaka Tarsius Makassar 2026–2035 (BTNBABUL, 2025), terdapat empat strategi utama yang akan menjadi dasar pengelolaan Suaka Tarsius Makassar selama sepuluh tahun ke depan:
- Growth (Pertumbuhan) – Pengembangan penelitian dan ekowisata.
- Stability (Konsolidasi) – Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Suaka Tarsius Makassar dan peningkatan anggaran serta infrastruktur.
- Diversification (Diversifikasi) – Program kampanye publik “Save Tarsius” dan festival konservasi.
- Survival (Ketahanan) – Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan mitigasi ancaman di habitat.
Rencana aksi juga mencakup kegiatan monitoring dan evaluasi.
Masyarakat Sebagai Mitra Konservasi
Keterlibatan masyarakat menjadi kunci keberlanjutan Suaka Tarsius Makassar. Sebagian warga sekitar dilibatkan sebagai Kelompok Pengelolaan Ekowisata Biseang Labboro (KPE Bislab) di kawasan wisata Pattunuang. Pendekatan partisipatif ini bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tapi juga membangun rasa kepemilikan terhadap kawasan konservasi.
“Kalau masyarakat merasa memiliki, mereka ikut menjaga,” kata Hendra selaku PEH pada TN Bantimurung Bulusaraung.
Simbol Harapan
Di tengah perubahan iklim dan tekanan lahan di Sulawesi Selatan, keberadaan tarsius makassar menjadi simbol kecil tentang apa yang masih bisa diselamatkan.
Primata mungil ini hidup di antara karst dan vegetasi rapuh, namun bertahan— beradaptasi tanpa banyak suara.
Menjaga tarsius makassar berarti menjaga jiwa Sulawesi. Sebab di setiap tatapan matanya, tersimpan cermin masa depan hutan yang kita wariskan.
Referensi
- Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (BTNBABUL). (2024). Profil Sanctuary Tarsius fuscus. Maros: Balai TN Bantimurung Bulusaraung.
- Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (BTNBABUL). (2025). Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Sanctuary Tarsius fuscus 2026–2035. Maros: Balai TN Bantimurung Bulusaraung.
- International Union for Conservation of Nature (IUCN). (2020). The IUCN Red List of Threatened Species.
- Shekelle, M., & Groves, C. P. (2010). Tarsius fuscus: Taxonomic Revision and Conservation Status.
- Whitten, A. J., Mustafa, M., & Henderson, G. S. (2002). The Ecology of Sulawesi. Singapore: Periplus Editions.
Penulis: Tim Kerja Suaka Tarsius Makassar
Baca juga : https://www.bantimurungbulusaraung.id/tarsius-makassar-primata-malam-yang-memikat-di-hutan-sulawesi/
https://www.bantimurungbulusaraung.id/tarsius-makassar-cute-smart-agile/