‘’Semangat Kemerdekaan dari Gunung Bulusaraung untuk Konservasi Indonesia”

Menelusuri Jalur Sunyi Pendakian

Bagi sebagian orang, mendaki gunung adalah soal menaklukkan puncak dan mengabadikan momen di media sosial. Tak bisa dipungkiri, generasi muda kini semakin akrab dengan aktivitas outdoor, termasuk pendakian, yang kerap dijadikan ajang pembuktian diri atau sekadar ikut tren fear of missing out (FOMO). Foto di atas awan, latar matahari terbit, dan bendera merah putih berkibar di puncak sering kali menjadi tujuan utama.

Malam yang dingin, secangkir kopi, dan cerita yang saling menyatukkan berpadu di jalur sunyi

Namun, di jalur-jalur sunyi, jauh dari keramaian selfie spot, pendakian memiliki makna yang jauh lebih dalam. Mendaki bukan hanya soal tiba di puncak, melainkan perjalanan batin yang mengajarkan kesabaran, kerja sama, dan penghargaan terhadap alam. Setiap langkah di jalur terjal adalah pengingat bahwa kemerdekaan yang kita rayakan hari ini lahir dari perjuangan panjang dan pengorbanan besar.

Sayangnya, semangat reflektif ini kadang tergerus oleh budaya instan. Banyak pendaki pemula yang datang tanpa persiapan matang, mengabaikan etika alam, bahkan meninggalkan sampah di jalur pendakian, seolah gunung hanyalah latar panggung sementara untuk feed Instagram. Padahal, jika mau sedikit melambat dan membuka hati, setiap embusan angin, aroma tanah basah, dan kicauan burung di ketinggian menyimpan pesan yang tak kalah penting dari bendera yang kita kibarkan adalah kebebasan sejati dengan menjaga, bukan merusak.

Merayakan kemerdekaan di jalur sunyi berarti memberi ruang pada diri untuk mendengar suara alam dan suara hati. Bukan sekadar membuktikan “aku pernah ke sana”, tetapi membangun kesadaran bahwa kita adalah bagian dari ekosistem yang harus dilestarikan. Di tengah gegap gempita perayaan, jalur sunyi mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan hanya warisan yang dinikmati, melainkan tanggung jawab yang dijaga setiap hari dan di setiap langkah.

Pecinta Alam sebagai Penjaga, Bukan Penakluk

Sering kali, pendakian dianggap sebagai pencapaian pribadi. Menaklukkan puncak, menguji batas fisik. Tapi sesungguhnya, pendaki sejati bukanlah penakluk, melainkan penjaga. Mereka yang memahami bahwa setiap langkah di tanah hutan adalah janji untuk tidak merusak. Bahwa setiap foto yang diambil harus dibayar dengan tindakan nyata menjaga kelestarian.

Menjadi pecinta alam bukan tentang menaklukkan puncak atau menguasai jalur tetapi mejaga dan merawat kehdiupan alam

Gunung Bulusaraung, yang terletak di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, memang memiliki jalur pendakian utama yang dikategorikan Grade 2 (Mudah). Jalurnya dimulai dari Desa Tompobulu, dengan kontur khas perbukitan karst,relief tinggi, lereng yang terjal, namun tetap ramah bagi banyak pendaki. Mudah bukan berarti bebas tantangan. Setiap jalur memiliki ceritanya sendiri, dan setiap langkah tetap menuntut kewaspadaan serta tanggung jawab.

Di balik semangat kemerdekaan, ada pesan penting yang tak boleh diabaikan yaitu keselamatan. Jalur yang licin, cuaca yang tak menentu, dan medan karst yang menantang tetap menuntut disiplin tinggi. Itulah mengapa SOP pendakian bukan sekadar aturan, melainkan bentuk cinta terhadap diri sendiri dan sesama.

Personel resor senantiasa mengingatkan dan mengedukasi. Mereka bukan penghalang kebebasan, tapi penjaga kehidupan. Mengikuti SOP berarti menghargai kerja keras mereka, dan memastikan bahwa setiap pendakian di Bulusaraung bukan menjadi berita duka, melainkan kisah inspiratif.

Zero Waste, Zero Accident

Setiap barang yang dibawa ke gunung harus kembali pulang bersama pendakinya.

Tahun ini, tema “Zero Waste,Zero Accident” menjadi komitmen bersama. Para pendaki membawa botol minum isi ulang, makanan tanpa kemasan plastik, dan kantong sampah pribadi. Tidak ada jejak yang ditinggalkan, kecuali jejak langkah dan kenangan.

Zero Waste bukan hanya tentang tidak membuang sampah, tapi tentang kesadaran bahwa setiap benda yang kita bawa memiliki dampak. Zero Accident bukan hanya tentang selamat sampai tujuan, tapi tentang menghargai hidup dalam setiap detik perjalanan.

Ketika dua prinsip ini dijalankan bersamaan, kita tidak hanya merayakan kemerdekaan, tapi juga memperjuangkannya dalam bentuk yang paling nyata.

Mendaki Bulusaraung Refleksi di Puncak, Janji untuk Alam

Merayakan kemerdekaan, sekaligus berjanji menjaga alam tetap merdeka dari sampah dan kerusakan

Sore menjelang malam di Desa Tompobulu menghadirkan cahaya jingga yang perlahan memudar di balik siluet Gunung Bulusaraung. Udara mulai terasa sejuk, sementara bayang-bayang pepohonan memanjang di jalur pendakian. Gunung setinggi 1.353 mdpl ini berdiri kokoh sebagai bagian dari lanskap Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terkenal dengan kekayaan hayati dan panorama alamnya yang memikat.

Tema besar peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun ini, “Bergerak Bersama Membangun Sinergi Antargenerasi Demi Masa Depan Konservasi yang Lebih Baik”, menemukan makna nyatanya di jalur pendakian Gunung Bulusaraung. Di sini, semangat konservasi tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar hidup dalam langkah para pendaki.

Di jalur setapak yang menanjak, kita melihat generasi muda berjalan beriringan bersama pendaki lain dari berbagai latar belakang usia.  Ada yang masih penuh energi melangkah cepat, ada pula yang menjaga ritme agar rombongan tetap bersama. Sinergi tercermin sederhana dari saling memberi semangat, hingga membimbing langkah melewati batu-batu terjal. Semua bergerak bersama menuju satu tujuan yaitu puncak Bulusaraung, sekaligus puncak kesadaran bahwa alam adalah warisan bersama yang harus dijaga.

Penekanan pada Youth for Conservation Beyond Expectation terasa kuat di sini. Anak-anak muda hadir bukan hanya untuk menikmati panorama, tetapi juga untuk belajar dan berkontribusi. Mereka mengumpulkan sampah di jalur pendakian, hingga menyebarkan pesan Zero Waste, Zero Accident di media sosial. Di tangan merekalah, semangat konservasi melampaui batas ekspektasi yang menembus ketinggian gunung, menyentuh hati banyak orang, dan menumbuhkan harapan baru bagi masa depan alam Indonesia.

Gunung Bulusaraung menjadi saksi bahwa ketika generasi muda saling menggandeng tangan, masa depan konservasi bukan sekadar impian, melainkan kenyataan yang sedang kita bangun bersama. Generasi muda membawa energi, kreativitas, dan keberanian untuk mengedukasi lewat media digital, sementara generasi senior menyumbangkan kearifan dan pengalaman menjaga jalur pendakian, mengelola sampah, dan melestarikan kawasan. Sinergi ini memastikan bahwa setiap langkah di jalur pendakian adalah langkah menuju konservasi yang melampaui ekspektasi

Tags :

Bagikan :